Sudewi2000’s Weblog

June 10, 2012

Martin Buber: What is Man?

Filed under: Uncategorized — Tags: , , , , — sudewi2000 @ 1:22 am

30 November 2011

Dalam tulisannya di Bab 5 “What Is Man?” (Buber, Between Man and Man, Routledge, 2002), Martin Buber memulai dengan mengutip perkataan dari Rabbi Bunam von Przysucha: “I wanted to write a book called Adam, which would be about the whole man. But then I decided not to write it.” Buber juga mengutip tulisan filsuf Malebranche dalam tulisannya De la recherce de la verite (1674): “Of all human knowledge the knowledge of man is the most deserving of his study.” Ungkapan ini menyiratkan tentang pentingnya menempatkan pengetahuan tentang manusia secara utuh dalam pengetahuan. Namun, meski disadari penting, Buber menekankan bahwa pengetahuan tersebut seringkali diabaikan oleh manusia itu sendiri.

Pentingnya antropologi filosofis (philosophical anthropology) secara kuat mulai didorong oleh Kant. Dalam buku panduan kuliahnya, Kant membedakan antara filsafat skolastik dan filsafat universal. Yang terakhir ini disebut Kant sebagai pengetahuan tentang tujuan akhir dari akal budi (reason) manusia. Dalam pengertian ini, filsafat menaungi empat pertanyaan berikut:

1. Apa yang dapat saya ketahui?

2. Apa yang seharusnya saya lakukan?

3. Apa yang bisa saya harapkan?

4. Apakah manusia itu?

Kant menjelaskan bahwa metafisika akan menjawab pertanyaan pertama, etika pertanyaan kedua, agama pertanyaan ketiga dan antropologi menjawab pertanyaan keempat. Lebih lanjut, Kant menambahkan bahwa secara mendasar, keempatnya bisa dipandang sebagai antropologi disebabkan tiga pertanyaan pertama memiliki kaitan dengan pertanyaan terakhir. Meski Kant memandang pentingnya melihat manusia dengan memperkenalkan istilah Antropologi,  bagi Buber, antropologi yang diuraikan Kant tidak filosofis. Manusia secara keseluruhan (the wholeness of man) tidak disentuh oleh Kant.

Seorang filsuf modern, Martin Heiddeger memberikan kritik terhadap paparan Kant. ”What can I know?”, baginya, menonjolkan ketidakmampuan (inability), ”What ought I to do” menyiratkan sesuatu yang belum terselesaikan, dan ”What may I hope?” menawarkan pengharapan dan menampik yang lain. Bagi Heidegger, ketiganya menunjukkan keterbatasan (limitation) manusia. Sementara itu, Heidegger menilai pertanyaan keempat Kant bukanlah pertanyaan antropologis.

Menanggapi kritik Heidegger terhadap Kant, Buber memberikan penjelasan bahwa apa yang dipahami Heidegger bukanlah yang dimaksud oleh Kant itu sendiri. Pada pertanyaan pertama mengenai “What can I know?”, menurut Buber, itu menyiratkan bahwa “saya bisa mengetahui sesuatu”, maka dilanjutkan dengan pertanyaan “apa itu yang bisa saya ketahui?” Pertanyaan “What ought I to do?” berarti “ada sesuatu yang harus saya ketahui” dan menyiratkan jalan apa yang bisa ditempuh untuk melakukan sesuatu tersebut. Pertanyaan ketiga menyiratkan bahwa ada sesuatu yang bisa saya harapkan, serta saya diperkenankan untuk mengharapkan hal tersebut, dan selanjutnya karena diperkenankan, maka saya bisa mempelajari apa yang bisa diharapkan. Yang menarik di sini, Buber lebih lanjut melihat bahwa ketiga pertanyaan tersebut dapat dipadukan menjadi: “jenis being seperti apakah yang mampu mengetahui, seharusnya melakukan dan bisa berharap?” Bagi Buber, meski antropologi versi Kant tidak menjawab tentang “What is man?” secara filosofis, tapi Kant telah meninggalkan warisan (legacy) yang penting bagi filsafat untuk melihat manusia dengan mulai memperkenalkan istilah antropologi.

Buber mengakui bahwa filsafat telah memberikan kontribusi terkait tiga pertanyaan pertama melalui logika dan epistemologi, psikologi dan etika, serta filsafat agama. Namun, filsafat selama ini tidak mampu menuntunnya untuk melihat keutuhan manusia atau manusia secara utuh (on the wholeness of man). Filsafat hanya melihat manusia sebagai bagian dari alam, seperti yang dilakukan kosmologi, atau seperti halnya disiplin ilmu lain, melihat manusia secara terpilah. Namun demikian, Buber melihat masih ada beberapa kesempatan terbuka dari filsafat untuk melihat manusia secara utuh melalui doktrin being dari metafisika dan eksistensi, dari temuan-temuan cabang-cabang filsafat serta dari penemuan antropologi filosofis. Melalui antropologi filosofis inilah manusia menjadi titik perhatian. Lebih jauh, Buber menjelaskan bahwa antropologi filosofis bertujuan untuk mengetahui manusia itu sendiri. Yang menjadi subyek adalah manusia dalam keutuhannya (man in his wholeness). Jadi antropologi filosofis atau filsafat manusia, menurut Buber, merupakan cara melihat manusia secara keseluruhan dan keutuhan.

Buber dalam tulisannya juga melacak kedudukan manusia sejak zaman Yunani hingga Kant. Pada masa Yunani di mana Aristoteles hidup, pandangan geosentrislah yang mendominasi. Perenungan dipusatkan pada alam dan dunia. Manusia hanya dipandang sebagai bagian dari dunia.

Berabad-abad kemudian, pertanyaan antropologis dimunculkan pertama kali oleh Agustinus. Agustinus menanyakan: What is man that thou art mindful of him? Manusia bagi Agustinus merupakan misteri besar (the great mystery). Manusia baginya harus dilihat tidak sebagai bagian dari dunia, tidak sebagai sesuatu di antara sesuatu lainnya. Pandangan ini kemudian mempengaruhi filsafat paska Agustinus.

Di masa Thomas Aquinas, gereja begitu mendominasi. Unsur teologis, berupa spirit, terlihat dalam pandangan Aquinas mengenai manusia. Menurut Aquinas, manusia diilihat sebagai spesies tersendiri dari yang lain. Dalam diri manusia terletak jiwa manusia (roh atau spirit terendah) yang bersatu dengan tubuh manusia (benda fisik yang tertinggi). Jadi dalam diri manusia, terdapat unsur spiritual dan fisik (alam).

Beberapa pemikir lain juga memberikan perhatian tentang manusia seperti Bovillus, Pascal dan Spinoza. Namun, Buber menekankan, perlu diakui bahwa Kant-lah yang pertama mengajukan pertanyaan antropologis secara kritis mengenai manusia.

Kemudian, Buber menguraikan cara pandang tentang manusia secara radikal yang dilakukan beberapa filsuf. Pandangan tentang manusia menjadi begitu berbeda dan radikal saat Hegel memperkenalkan cara pandang yang menekankan pada aksi sosial dan politik berdasarkan proses dialektika dan struktur objektif dalam masyarakat. Meski Hegel muda terlihat begitu mengadopsi pemikiran Kant dan menamakan keseluruhan manusia sebagai “the unity of the whole man”, cara pandang yang diperkenalkan Hegel kemudian menjadi sangat berbeda dari yang telah lama dikenal. Pandangan filosofisnya tidak lagi dimulai dari manusia, tapi dari universal reason. Manusia sekarang hanya merupakan prinsip untuk mendorong universal reason mencapai kesadaran diri yang sempurna (perfect self-consciousness) melalui proses dialektika. Untuk mencapai kesadaran diri yang sempurna, akal budi/ intelektual perlu mengembara hingga akhirnya mencapai kesadaran yang menyeluruh. Pengembaraan akal budi (roh) untuk mencapai penyadaran diri merupakan proses dari sejarah semesta.

Di sini kita melihat, sejarah menjadi penting dalam sudut pandang Hegel tentang manusia. Manusia tidak lagi ditempatkan dalam rumah kosmologis atau universe seperti yang biasa dikenal dalam filsafat terdahulu, tapi ditempatkan Hegel dalam ”rumah baru”, yaitu sejarah semesta. “Rumah” tersebut adalah waktu dalam bentuk sejarah yang maknanya dapat dipelajari dan dimengerti secara sempurna oleh manusia yang mengetahui (knowing man). Di sini, menurut Hegel berbagai problem yang selama ini ditemui seperti rasa tidak aman, kegelisahan tentang meaning, ketakutan akan keputusan dan problem mendalam lainnya mampu teratasi.

“Rumah semesta” Hegel kemudian terbukti tidak mampu ditempati manusia nyata (the real man). Gambaran intelektual semesta yang dibangun berdasarkan waktu ternyata tidak mampu menenangkan kegelisahan manusia. Paling tidak ada dua hal yang tidak bisa terjawab di sini. Pertama, waktu yang ditawarkan Hegel dalam gambaran semestanya bukanlah waktu manusiawi yang nyata, tapi waktu dalam kerangka pikir (thought) yang tidak dapat disatukan secara sempurna dengan kenyataan tentang waktu itu sendiri. Pandangan Hegel yang menekankan pentingnya sejarah dalam konteks kesadaran manusia hanya bisa menjangkau masa lalu (past). Masa depan menjadi sesuatu yang tidak pasti. Kedua, selama ini, manusia sudah biasa ditawarkan dengan berbagai bentuk juru selamat (Messianism), misalnya dari kepercayaan Persia, Israel dan Kristen. Dalam Hegel, hal-hal tersebut ditiadakan, diganti dengan sekularisasi. Kepercayaan terhadap Messiah ternyata tidak bisa digantikan oleh tawaran dunia ide yang sempurna dari Hegel.

Dialektika Hegel kemudian diadopsi oleh Marx. Namun, Marx melakukan reduksi sosiologis (sociological reduction). Dunia manusia bagi Marx bukanlah semesta, melainkan masyarakat. Apa yang ditawarkan Marx adalah gambaran tentang masyarakat yang melakukan proses dialektika menuju masyarakat yang sempurna, yaitu masyarakat tanpa kelas. Namun bagi Buber, reduksi sosiologis yang dilakukan Marx tidak lebih dari mengikuti jejak Hegel. Marx, meski menawarkan masa depan melalui masyarakat tanpa kelas, juga mengedepankan waktu kosmologis (cosmological time) yang dipandang asing bagi realita manusia. Konsep Marx tidak menjangkau problem keputusan manusia (human decision), yang pada gilirannya menentukan berbagai peristiwa dan nasib (termasuk peristiwa dan nasib sosial). Manusia dipandang sebagai masyarakat semata.

Sebelum Marx, ada tokoh lain yang juga dipandang Buber melakukan reduksi terhadap pemikiran Hegel, yaitu Feuerbach. Jika Marx melakukan reduksi sosiologis, maka Feuerbach melakukan reduksi antropologis (antropological reduction).

Untuk memahami Feuerbach, ada baiknya kita mulai dari pertanyaan: apakah asal mula filsafat itu (what is the beginning of philosophy)? Berbeda dengan Hegel yang menempatkan manusia sebagai ciptaan terakhir yang kemudian ditempatkan dalam kosmos, Feuerbach melihat manusia sebagai pusat yang kemudian memberikan nama terhadap benda-benda ciptaan lainnya. Dari sini bisa dilihat bahwa jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah manusia. Feuerbach menempatkan manusia sebagai subyek tertinggi dari filsafat. Lebih jauh, pengertian manusia menurutnya bukanlah manusia individu, melainkan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam masyarakat: I dan Thou. Manusia juga dipandang sebagai being yang tidak ambigu.

Beralih pada Nietzsche, Buber menilai filsuf ini sangat mengikuti ketat hampir seluruh reduksi antropologis yang dilakukan Feuerbach, kecuali tentang problematic being. Bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk yang tidak ambigu. Manusia adalah being yang penuh masalah (problematic being), sesuatu yang gelap dan tertutup. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa manusia adalah “the animal that is not yet established”. Manusia bukanlah spesies final seperti yang lainnya, tapi merupakan spesies yang menjadi (becoming). Karena tercerabut dari masa lalunya sebagai animal menuju proses menjadi, maka manusia menjadi menderita dan dipenuhi problem tentang makna hidupnya. Nietzsche juga menyebut manusia sebagai embrio dari manusia masa depan. Namun, Nietzsche membuat perbedaan antara manusia dengan animal, yaitu manusia bisa membuat janji (may promise), termasuk janji pada diri sendiri untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia. Bagi Buber, meski Nietzsche tidak memberikan landasan positif bagi antropologi filosofis, tapi dia telah mencoba menguak diri manusia sebagai being yang memiliki kegelisahan.

Pandangan terhadap tulisan Buber

Buber nampak jelas di sini melacak berbagai pandangan tentang manusia dari zaman Yunani Kuno hingga filsafat modern. Dari semua ini, Kant-lah yang dipandangnya sebagai pelopor dari filsafat manusia, walaupun menurutnya pandangan tersebut tidak bersifat filosofis. Buber juga mengakui bahwa pandangan radikal tentang manusia mulai ada saat Hegel mengajukan pandangannya tentang manusia. Namun perlu disadari bahwa tidak semuanya memuaskan Buber. Di sini kita melihat bagaimana kecerdasan Buber menguliti pandangan-pandangan tersebut, untuk kemudian membantunya melihat ketidaksempurnaan “pendahulunya”. Walaupun konsep manusia sebagai keseluruhan masih perlu dijelaskan lebih jauh lagi, bagi saya tulisan Buber ini membantu untuk memetakan berbagai pendapat tentang manusia dan sangat bermanfaat bagi pemula seperti saya dalam mempelajari filsafat manusia.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.