Sudewi2000’s Weblog

June 10, 2012

Julian Baggini: Philosophy as Judgment

Filed under: Uncategorized — Tags: , , , , — sudewi2000 @ 1:59 am

11 Oktober 2011

Julian Baggini (lahir 1968) adalah seorang filsuf dari Inggris dan pengarang beberapa buku dan artikel filsafat. Salah satu artikelnya berjudul “Philosophy as Judgement”. Tulisan berikut membahas secara garis besar mengenai artikel Baggini tersebut.

Tujuan utama Baggini menulis artikel “Philosophy as Judgement” adalah untuk mengajak kita semua menyadari pentingnya peranan penilaian atau “judgement” dalam filsafat yang baik. Selama ini, konsep-konsep atau teori-teori filsafat menjadi masuk akal dan kokoh (logic and rigour) karena ada alasan-alasan objektif rasional yang didukung logika. Namun, seringkali konsep atau teori tersebut terasa kering. Bagi Baggini, dengan melakukan penilaian, konsep-konsep atau teori-teori filsafat tersebut menjadi tidak hanya masuk akal dan kokoh, tapi juga menarik dan inspiratif, sehingga membuat mahluk rasional lain mau tidak mau merasa harus mempercayainya.

Dalam artikel tersebut, Baggini mengkritik pandangan tradisional yang ada di filsafat yang kerap menyingkirkan penilaian atau judgement. Ia mengatakan, meski disadari bahwa berfilsafat yang baik dan menarik memerlukan penilaian, namun biasanya, dalam literatur filsafat, pembicaraan tentang penilaian dianggap tidak penting atau dipinggirkan.Para filsuf cenderung memilih melakukan pembahasan terkait argumen dan penalaran yang baik. Kalaupun ada, unsur penilaian biasanya hanya disinggung dalam kegiatan diskusi atau interview.

Baggini memberikan tiga alasan yang menyebabkan pembicaraan tentang penilaian menjadi dipinggirkan dalam literatur filsafat. Pertama, sisi-sisi logis dari filsafat bisa di-skematisasi dan diformalkan dengan cara-cara tertentu, sementara penilaian tidak. Lebih mudah bagi seseorang untuk mengungkapkan sesuatu yang bersifat logis-formal dan berstruktur argumentatif, dibandingkan menarik “insight” (wawasan atau pengertian yang mendalam) dari suatu penilaian.

Kedua, peminggiran terjadi karena adanya akademisasi dari filsafat itu sendiri. Saat terjadi akademisasi, filsafat harus memenuhi syarat tertentu untuk bisa dimasukkan dalam ranah “akademis”. Untuk mempublikasikan buah pikiran filosofis misalnya, diperlukan syarat-syarat akademis tertentu: harus orisinil, ada hasil atau “result” yang disajikan, serta memenuhi standar profesional yang tinggi. Bagi seorang filsuf, untuk keperluan publikasi akademis, pembahasan logis-analitis dianggap lebih mudah memenuhi syarat-syarat di atas dibandingkan melakukan proses penilaian.

Alasan ketiga dipandang Baggini lebih signifikan. Filsafat memiliki sifat mengejar rasionalitas sejauh mungkin, dan karenanya akan mengurangi peran penilaian sebanyak mungkin. Argumentasi dipandang lebih rasional jika unsur penilaian diminimalisir. Kalaupun dimunculkan, penilaian tersebut dibuat sehalus mungkin agar sulit tersingkap dan tetap diselubungi oleh argumen rasional. Jadilah kemudian, penilaian menjadi ”philosophy’s dirty secret”.

Menurut penjelasan Baggini, rasionalitas dan logika memiliki hubungan tersendiri dalam filsafat. ”Deductive logic is a resource of rationality, not the essence of it” (hal. 144). Logika deduktif memang bukanlah hakikat dari rasionalitas. Namun, meski tidak seluas rasionalitas, tidak bisa dipungkiri kalau logika merupakan  suatu sumber dari rasionalitas tersebut.

Meski menyadari bahwa rasionalitas tidak sama luasnya dengan logika, Baggini tidak setuju menghilangkan logika dari rasionalitas. Baginya, logika memberikan sumbangan bagi rasionalitas. Ia memiliki peranan penting. Meski tidak seluas rasionalitas, logika merupakan salah satu alat yang digunakan rasionalitas untuk membangun argumen. Argumen yang disebut rasional, meski tidak selalu, umumnya terikat pada hukum-hukum dasar logika. Jadi, bagi Baggini, logika tetaplah penting bagi rasionalitas.

Dalam artikelnya tersebut, Baggini juga menjelaskan hubungan antara judgement (penilaian) – rasionalitas –objektivitas – logika. Agar lebih mudah dipahami, Baggini memulainya dengan menjelaskan hubungan antara filsafat, rasionalitas dan logika. Filsafat merupakan suatu bentuk penyelidikan rasional yang sangat murni. Satu-satunya sumber real filsafat adalah rasionalitas itu sendiri. Lantas, bagaimana kaitan logika dengan rasionalitas? Seperti telah dijelaskan di atas, meski tidak identik dan seluas rasionalitas, saat membangun argumen dalam filsafat, logika berperan penting.  Argumentasi rasional menjadi masuk akal dan kuat dengan dukungan hukum-hukum logika.

Lebih lanjut, untuk membuat suatu argumen menjadi baik, tidak hanya diperlukan rasionalitas yang didukung logika. Argumen tersebut juga memerlukan objektivitas. Di sini, Baggini mendefinisikan argumen rasional sebagai “the giving of objective reasons to belief” (hal. 146), yaitu pemberian atau penyediaan alasan-alasan objektif untuk dipercayai. Bagi Baggini, rasionalitas dan objektifitas lebih daripada sekedar pasangan alamiah. Keduanya memiliki hubungan yang lebih erat. Saat kita mengemukakan suatu argumen rasional, berarti saat itu pula kita melengkapinya dengan alasan-alasan objektif yang bisa dipercaya.

Lebih jauh, saat menjelaskan tentang objektivitas, Baggini mengacu pada pengertian yang diajukan Thomas Nagel. Bagi Nagel, semakin objektif suatu argumen, makin dekatlah argumen tersebut dengan ”view from nowhere” yang tidak mungkin dapat diraih (unachievable). Objektivitaspun menjauhkan kita dari pandangan subyektif. Kita menjadi lebih tidak berpihak (partial), baik dalam arti tidak melakukan pandangan bias dan preferensi pribadi, maupun tidak terjebak dalam pandangan yang tidak disertai alasan dan pengalaman yang cukup (lihat hal.146)

Jadi, bisa disimpulkan di sini bahwa argumen yang baik tidak hanya argumen yang rasional, tapi merupakan argumen yang objektif dan rasional. Lantas, bagaimana menghubungkan objektivitas – rasionalitas  dengan judgement? Untuk memulainya, marilah kita melihat lima ciri-ciri argumen yang objektif rasional menurut Baggini. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

    • Comprehensibility. Di sini dimaksudkan bahwa argumen yang objektif rasional haruslah bisa dipahami oleh lebih banyak mahluk rasional.
    • Assesability berarti argumen tersebut harus bisa dinilai oleh lebih banyak mahluk rasional.
    • Defeasibility berarti bisa ditunjukkan benar tidaknya argumen tersebut dengan kriteria dan bukti-bukti tertentu.
    • Interest-neutrality bisa dimaksudkan bahwa argumen itu harus bersifat netral atau tidak memihak terhadap kepentingan apapun.
    • Compulsion berarti adanya kemampuan memberikan dorongan kepada siapapun untuk menerima kesimpulan yang diajukan. Ciri 1 sampai 4 kesemuanya menimbulkan dorongan yang memaksa seseorang untuk menerima kesimpulan tersebut, terlepas dari ia suka atau tidak dengan kesimpulan yang dimunculkan.

 

Dengan lima ciri di atas, Baggini menggarisbawahi bahwa dalam setiap proses membangun dan mengkaji suatu argumen yang objektif rasional memerlukan penilaian atau judgement. Karena penilaian yang dilakukan begitu kuat dan memenuhi lima ciri tersebut, maka argumen kitapun menjadi menarik dan lebih dipercaya siapapun.

Menurut saya, dalam artikel ini Baggini telah memberikan kritik membangun terhadap praktek tradisional filsafat yang selama ini cenderung meminggirkan peran penilaian. Baggini juga mampu menjelaskan hubungan antara rasionalitas –objektivitas – logika dengan judgment (penilaian) dalam rangka menunjukkan betapa penilaian tetap harus mendapat tempat dalam filsafat, seperti halnya rasionalitas, objektivitas dan logika. Ajakan Baggini untuk memberikan tempat yang layak dalam filsafat bagi penilaian adalah tepat sehingga argumen filsafat bisa menjadi menarik dan lebih menggugah siapapun untuk percaya.

Jika argumen filsafat yang dibangun diibaratkan hasil masakan para koki (filsuf), obyektivitas dan logika (yang  mendukung rasionalitas) berperan sebagai bumbu penyedap yang menjadikan masakan tersebut terasa lezat. Namun, masakan lezat tersebut mungkin tidak akan disentuh, dicicipi atau dimakan siapapun dikarenakan tampilannya tidak memikat mata. Bahkan mungkin masakan tersebut ”dipercaya” tidak lezat hanya karena tampilannya. Judgement-lah yang di sini berperan menjadikan masakan tersebut tampil memikat dan menggugah keinginan siapapun untuk percaya bahwa masakan itu memang enak, dan kemudian mendorong siapapun untuk menyantapnya dengan lahap.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.