Sudewi2000’s Weblog

October 1, 2008

MANGGARAI: SEKERANJANG PELAJARAN DARI MASYARAKAT

Kesejukan dan Tapak Meraih Mimpi

11 Mei 2007

Sawah Terbentang di Tengah Kesejukan Manggarai (Foto Swary Utami Dewi)

Sawah Lingko Terbentang di Tengah Kesejukan Manggarai (Foto Swary Utami Dewi)

Menyejukkan. Itulah kata yang mungkin cukup bisa menggambarkan Kabupaten Manggarai, NTT, saat pertama aku mengenalnya. Menyejukkan baik dalam hal cuaca, keramahan penduduk dan keindahan alam. Saat itu lewat pertengahan April 2007. Walau tidak tahu persis berapa derajat suhu waktu aku berkelana seminggu di sana , siang hari terasa sejuk. Bahkan pada saat matahari ada dan menyembul dari balik awan, dingin tetap terasa. Jangan tanya di malam hari. Kita dipastikan akan menggigil jika tidak mengenakan celana dan baju panjang, jaket, kaos kaki dan selimut tebal. Beberapa teman mengatakan, aku cukup beruntung datang saat musim hujan. Jika musim kemarau datang, bbbrrrr…. pasti lebih dingin lagi.

Swary Utami Dewi

Malu-malu dalam Gendongan Ibu (Foto: Swary Utami Dewi

Keramahan penduduk yang menyejukkan terbukti pada saat aku berkunjung ke beberapa desa sekitar Ruteng, ibukota Manggarai. Senyum, lambaian atau sapaan “selamat” hampir selalu ditemui setiap kali aku berpapasan dengan orang-orang di jalan-jalan desa. Apalagi jika kita berkunjung ke rumah atau mengikuti pertemuan desa. Makan bersama menjadi menu yang kudu wajib, tidak boleh ditolak oleh sang tamu. Sedikit tak masalah, asal sajian disentuh dan dilahap. Aku merasa, bagi kebanyakan orang Manggarai, terutama yang ada di desa, tamu merupakan berkah tersendiri.

Sekedar tambahan soal makan, jika waktu makan tiba, aku “terpesona” menyaksikan semangat orang Manggarai makan. Pengalaman pertama yang cukup mempesona saat melihat kelompok tani di Desa Golo Watu disodori piring yang memuat nasi penuh. “Bak gunung Rakata”, demikian istilah Delfi, seorang pendamping lapangan dari LSM Yayasan Ayo Indonesia, ketika aku membagi keterpesonaanku itu. “Kalau nantinya di Manggarai ada laporan kekurangan pangan (nasi), bukan karena mereka betul-betul kurang pangan. Tapi karena jatah beberapa orang di tempat lain, disantap satu orang di desa-desa Manggarai, “ candaku kepada Delfi yang disambut gelak tawa.

Kesejukan ketiga yang kutemui saat di mana-mana sejauh mata memandang keindahan alam Manggarai terbentang. Kabupaten yang terletak di Flores Barat ini terkenal sebagai daerah pegunungan. Hijau di mana-mana. Hamparan sawah ditemui di banyak tempat. Aku sempat ternganga melihat salah satu sistem pembagian lahan sawah yang ada di sana : Lingko, membentang indah laksana jaring laba-laba raksasa.

Jika kesejukan ditemui pada pengalaman pertama aku menyentuh Manggarai, berbagai kesan lebih mendalam kudapatkan saat berinteraksi sedikit lebih jauh dengan kelompok masyarakat. Aku mengikuti perjalanan seorang teman, staf Yayasan Ayo, untuk pergi ke beberapa desa dampingan. Dari sinilah semua bermula, yang pada akhirnya bermuara pada keberuntungan. Aku mendapat sekeranjang pelajaran berharga dari masyarakat Manggarai.

Richard Roden YAYASAN AYO)

Bersama Petani Golo Watu (Foto: Richard Roden YAYASAN AYO)

Golo Watu menjadi desa pertama yang kujajaki. Saat itu, kelompok tani Tungku Mose, berjumlah 18 orang, sedang mencangkul tanah yang nantinya akan ditanami bibit tanaman umur panjang atau pendek. Semula mereka hanya memandangku dari kejauhan. Saat kudekati dan kuulurkan tangan, dengan cepat mereka menyambut. Kukeluarkan kamera digital untuk memotret kegiatan. Hasilnya mulai terlihat. Beberapa menyembulkan senyum meski suasana belum terlalu cair dan obrolan belum bersambut.

Rambutan manis! Siapa sangka, buah inilah yang menjadi media pelancar komunikasiku dengan petani-petani desa Golo Watu. Kebetulan saat aku hendak berangkat dari kantor Yayasan Ayo, ada tukang buah lewat. Dua kilogram rambutan kutenteng sampai ke desa yang terletak di Kecamatan Wae Rii ini. Saat kutawarkan, mula-mula hanya satu dua orang yang menghampiri tempatku duduk dan merasakannya. Mungkin karena manis, kemudian semua bergiliran mengambil buah ini dari kantong plastik hitam. Lalu, bergulir ide menanam biji rambutan tersebut di tanah yang sedang digarap ini.

Swary Utami Dewi)

Menyiapkan Makan Siang (Foto: Swary Utami Dewi)

Menjelang makan siang, dua perempuan datang membawa makanan. Seperti yang kuungkapkan di atas, di sanalah aku terpesona melihat kemampuan makan orang Manggarai yang diwakili para petani Golo Watu. Beberapa hari kemudian dari hasil perbincanganku dengan beberapa ibu di desa lain, aku baru tahu bahwa orang Manggarai biasa makan besar dua kali, siang dan malam. Berbeda di banyak tempat lain di Indonesia, di sela-sela waktu makan, tidak ada makanan kecil yang disantap. Jadi mengertilah aku kenapa porsi menakjubkan menjadi lazim di banyak tempat di Manggarai.

Saat para petani yang semuanya laki-laki lahap menyantap sajian nasi, sayur daun labu kuning dan ikan asin, dua perempuan tadi sibuk melayani. Aku yang asyik makan bersama para bapak, menanyakan kenapa ibu tidak ikut makan. Dijawab oleh seseorang kalau para ibu di Manggarai biasa makan sesudah para bapak dan tamu selesai makan. Kenapa begitu? Jawabnya, kalau mereka ikut makan, siapa yang melayani mereka yang sedang makan? Aku kembali bertanya, bagaimana jika nasi dan lauk habis tidak tersisa bagi para ibu karena dilahap para bapak dan tamu? Seorang petani muda lainnya bergumam, “Iya, ya. Kalau makanannya habis, para ibu kemudian makan apa?” Walaupun bagiku ini agak unik, aku tidak ingin mendebat lebih jauh. Hanya kujelaskan kalau di tempatku, laki-laki dan perempuan biasa makan bersama, termasuk dengan para tamu.

Selesai makan, aku menjadi tahu lebih banyak apa yang sedang dikerjakan oleh kelompok tani ini. Yang sedang dilakukan adalah mengolah lahan secara bergilir yang nantinya ditanami berbagai jenis tanaman, seperti buah-buahan, ubi kayu dan jagung. Sistem arisan penggarapan lahan –demikian istilahku– diterapkan. Kali ini tanah yang sedang digarap bersama, nantinya akan menjadi lahan kelola Wenslaus Jehadut, sang kepala desa sekaligus ketua kelompok tani. Saat menggarap yang dilakukan adalah mencangkul dan menggemburkan tanah.

Swary Utami Dewi)

Perempuan Mengerjakan Sawah (Foto: Swary Utami Dewi)

Karena hampir semua petani dalam kelompok ini bekerja sebagai tukang batu, kayu, petani sawah tadah hujan merangkap berjualan sayur mayur di pasar, maka diputuskan satu kali seminggu kerja bersama dilakukan, agar tidak mengganggu pekerjaan utama. Setiap Jumat, sistem arisan penggarapan lahan dilakukan. Jika Jumat ini di lahan Jehadut, Jumat berikutnya di lahan anggota yang lain. Semua dilakukan secara bergotong royong. Tentunya sesudah selesai lahan dicangkuli dan digemburkan, setiap anggota akan bisa menanam lahan itu dan secara mandiri mengelola sesuai kebutuhan masing-masing.

Jika tanaman sudah bisa dipanen, bagi Jehadut dan teman-teman di kelompok Tungku Mose, berarti ada harapan peningkatan pendapatan. Menjadi pekerja bangunan, mengelola sawah tadah hujan dan berjualan sayur tidak cukup dilakukan, jika para petani di Golo Watu ingin mengejar kehidupan yang lebih baik. “Demi keluarga, dan nantinya untuk anak cucu,” tegas Jehadut ketika ditanya untuk apa semua ini dilakukan. Dan, tapak jalan meraih mimpipun telah dirintis.

3 Comments »

  1. mengingatkan aku sewaktu di desa dgn penuh persahajaan dan kedamain

    Comment by rimpa — December 30, 2009 @ 5:46 am

  2. saya telah membuka situs ini, saya ucapkan terima kasih karena telah mengenangkan saya pada saat saya berhenti di golo welu sambil menikmati pemandangan persawahan di sana saat pulang bulan juli thn 2009. Saya ada di kota gudeg yogyakarta dari thn 1990 sampai sekarang. Salam buat masyarakat Golo welu. Semoga saudara2 ku yang ada di Golo Welu selalu dalam keadaan sehat tidak kurang suatu apapun. TUHAN selalu Memberkaiti. Majulah terus Golo Welu. Muku ca puu neka woleng curup, Teu ca ambong neka woleng lako.

    Comment by KANISIUS SUDUN — October 8, 2010 @ 11:43 am

  3. manggaraiku.. psonamu terus bertahan di tengah globalisasi dan modernisasi. tetapkan bertahan dengan keramahan dan budaya cinta kasihmu. nai ca anggit tuka ca leleng adalah moto hidup bersama yang selalu kami sebagai generasi penerus akan bawa ke manapun kami pergi tanpa tersusut oleh kejamnya dimensi waktu dan jaman…

    Comment by jossi jehabat — May 2, 2011 @ 4:58 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a reply to rimpa Cancel reply

Create a free website or blog at WordPress.com.